Senin, 11 April 2011

Resensi - Man Jadda Wajada

Harusnya  resensi ini aku posting duluan sebelum resensi Ranah 3 Warna yak hehehehe.... But it's ok lah yaaa...

http://international.okezone.com/read/2009/12/14/285/284818/man-jadda-wajada

Judul Buku: NEGERI 5 MENARA
Pengarang: A Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Ketiga, Oktober 2009
Tebal: 420 halaman

Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, begitulah arti dari judul di atas. Kalimat itu ditanamkan pada hati setiap murid baru di Pondok Madani (PM), agar selalu teguh dalam memperjuangkan sesuatu. Selain itu Kiai Rais, pemimpin PM, juga telah menanamkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan rasa ikhlas. Para santri ikhlas untuk diajar, para ustaz juga ikhlas untuk mengajar.

Dikisahkan Alif dari sebuah desa di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat, terpaksa mengikuti keinginan amaknya untuk bersekolah di sekolah agama. Cita-citanya untuk masuk ke SMA biasa dan melanjutkan kuliah di ITB agar sepintar Habibie pun kandas. Terdorong oleh surat pamannya yang menyebutkan bahwa ada pondok pesantren yang bagus di Jawa Timur, maka berangkatlah Alif ke sana.

Ternyata pilihannya tidak salah. PM bukanlah pondok pesantren biasa. Di sana para santri bebas mengembangkan bakatnya misalnya di bidang seni, jurnalistik atau olahraga. Hukuman jewer berantai mempunyai hikmah bagi Alif. Karena dari situlah dia mulai bersahabat dengan Raja, Atang, Baso, Said, dan Dulmajid. Mereka mempunyai tempat berkumpul di bawah menara masjid, sehingga mereka dijuluki sebagai Sahibul Menara, yang punya menara.

Disitu mereka biasa merebahkan tubuh dan memandang awan-awan di langit. Alif melihat awan itu berbentuk benua Amerika, tetapi Raja melihat awan itu berbentuk benua Eropa. Atang menginterpretasikan awan itu berbentuk daratan Timur Tengah, sedangkan Dulmajid dan Said melihat awan itu berbentuk negara Indonesia.

Hari demi hari dilewati, bulan demi bulan juga berlalu. Alif mulai menikmati keberadaannya di PM ini, dan mengerti mengapa amak menginginkannya di sekolah agama. Namun surat-surat yang diterima dari Randai, sahabatnya, terkadang membuatnya iri dan menggoyahkan sikapnya. Randai yang bersekolah di SMA biasa selalu mengunggulkan SMA-nya dan menyayangkan keputusan Alif bersekolah di PM. Karena sedari duduk di bangku MTs, mereka sama-bercita-cita masuk ke SMA biasa dan kuliah di ITB, tempat pencetak para ilmuwan.

Awalnya semangat Alif akan berkobar lagi setelah mendengar motivasi dari Ustaz Salman, wali kelasnya. Namun setelah tiga tahun berada di PM dan mendengar kabar bahwa Randai telah diterima di ITB, cita-citanya yang dahulu berkobar lagi. Bahkan Alif berniat untuk keluar dari PM, mengikuti ujian persamaan SMA lalu mengikuti UMPTN. Hal itu sempat membuat sedih amak dan ayahnya. Namun akhirnya Alif luluh dengan keinginan ayahnya yang berjanji akan mendaftarkannya mengikuti ujian persamaan setelah selesai ujian akhir di PM.

Sementara itu Baso, sahabat sahibul menara yang berasal dari Gowa memutuskan meninggalkan PM hanya beberapa bulan sebelum ujian akhir. Keputusan itu dibuat karena dia baktinya pada sang nenek, sebagai pengganti orangtuanya yang sudah meninggal, yang sedang sakit parah. Beruntung tetangganya yang baik hati mempunyai informasi bahwa ada sebuah sekolah agama yang memerlukan guru bahasa Arab. Sehingga kepulangan Baso ke Gowa tidaklah sia-sia karena dia masih bisa mengamalkan ilmunya sekaligus menyelesaikan hafalan Alqurannya.

Memasuki tahun kelima para santri mulai dipupuk jiwa kepemimpinannya. Mereka diberi tanggung jawab sesuai dengan minat dan kemampuannya. Ada yang menjadi penggerak bahasa, penggerak disiplin, dan lain-lain. Sesuai dengan bakat dan minatnya di bidang jurnalistik, Alif dipercaya menjadi redaktur majalah Syams, majalah dwi bulanan milik PM.

Pendidikan di PM memang berbeda dengan pondok lainnya. Di sana santri diperbolehkan melakukan kegiatan di luar pelajaran agama, harus fasih berbahasa Arab dan Inggris, serta dilakukan dalam kedisiplinan tinggi. Terlambat masuk kelas atau masjid, walaupun hanya 5 menit, tetap mendapat hukuman. Bahkan Alif, Atang, dan Said walaupun telah duduk di tingkat terakhir juga tidak luput dari hukuman jika berbuat salah.

Novel ini begitu apik dalam mengisahkan persahabatan enam remaja yang bersekolah di Pondok Madani. Banyak hal dalam novel ini yang bisa kita ambil pelajarannya. Antara lain adalah menanamkan sifat ikhlas dan sikap untuk berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai mimpi kita. Nilai tambah yang lain dari novel ini, penulis menggambarkan denah PM lengkap dengan keterangannya sehingga pembaca dengan mudah bisa membayangkan letak-letak bangunan yang disebutkan dalam novel, seperti masjid, aula, asrama Al-Barq, dll.

Novel ini ditulis terinspirasi oleh kisah nyata dari sang penulis yang dulu bersekolah di Pondok Modern Gontor. Negeri 5 Menara ini begitu menarik hati para pembaca terbukti sejak dicetak pertama kali di bulan Juli 2009, sekarang novel ini telah dicetak untuk yang ketiga kalinya.

Dengan semangat man jadda wajada, keenam sahibul menara berhasil mewujudkan cita-cita mereka yang dahulu mungkin dirasa tidak mungkin bisa tercapai. Semoga semangat itu bisa menulari para pembacanya, sehingga kita juga bisa meraih mimpi dengan berusaha sungguh-sungguh. Man jadda wajada!!

Ersina Rakhma
Penikmat Buku, Tinggal di Jakarta
(//mbs)

Resensi - Mantra Kedua

Resensi terbaru yang udah diunggah di www.okezone.com. Jika ada kritik dan saran jangan sungkan-sungkan lhooo....


Judul Buku : RANAH 3 WARNA
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Ketiga, Januari 2011
Tebal :    474 halaman

Lanjutan dari kisah Alif Fikri yang telah lulus dari Pondok Madani (PM) ini sudah saya tunggu-tunggu sejak selesai membaca Negeri 5 Menara, namun baru sempat saya baca selama dua hari ini. Novel ini tentu saja juga ditunggu-tunggu oleh semua penggemar terbukti dari buku yang saya beli sudah mencapai cetakan ketiga di bulan yang sama sejak dicetak yaitu Januari 2011.

Alif yang baru saja lulus dari PM mulai membuat rencana untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang telah ia pupuk dengan semangat ”man jadda wajada”. Setelah dia berhasil lulus ujian persamaan SMA, maka mimpi selanjutnya adalah menembus UMPTN di ITB mengikuti idolanya, Habibie. Namun Alif harus bisa menerima kenyataan bahwa waktunya tak cukup banyak untuk mempelajari materi UMPTN jurusan IPA. Maka dengan besar hati Alif membanting stir berusaha keras untuk menembus Universitas Padjajaran (UNPAD) jurusan Hubungan Internasional, dengan harapan dia bisa mewujudkan mimpinya yang lain yaitu bisa berkeliling dunia.

Hidup takkan berwarna jika tanpa masalah. Jalannya perkuliahan Alif yang kurang mulus di awal kuliah makin tersendat saat Alif menghadapi kenyataan bahwa ayahanda tercintanya harus pergi menghadap Illahi. Alif tidak mau membebani Amaknya yang masih harus membiayai sekolah kedua adiknya, maka dia bertekad untuk bekerja agar bisa mandiri. Menjual barang dan mengajar les privat menjadi pilihan awalnya. Namun ternyata malah membuat dia terkapar sakit.

Di saat sakitnya itulah dia menyadari bahwa ”man jadda wajada” tidaklah cukup jika tidak disertai dengan ”man shabara zhafira”. Siapa yang sabar dia akan beruntung. Jadi sabar itu bukan berarti pasrah, tapi sebuah kesadaran yang proaktif. Dan sesungguhnya Allah itu selalu bersama orang yang bersabar (halaman 129).

Alif pun teringat saat dia digojlok bang Togar, pemimpin redaksi koran kampusnya yang telah artikelnya selalu dimuat di koran nasional. Waktu itu dia merasa sudah cukup sekali saja diperlakukan oleh Togar seperti itu. Lalu Alif menyadari bahwa seharusnya dia lebih bisa bersabar dalam menerima tempaan agar mampu menjadi penulis yang handal. Maka dengan kesungguhan dan kesabarannya akhirnya Alif berhasil dan beruntung karena perlahan-lahan artikelnya mulai diperhitungkan baik di koran lokal maupun koran nasional.

Mimpi-mimpi Alif tidak berhenti sampai di sini, namun dia selalu berani berusaha mewujudkannya dengan berusaha disertai bersabar hingga dia bisa menginjakkan kakinya di 3 ranah yang berbeda, Bandung, Yordania, dan Kanada.

Dalam menempuh ranah 3 warna ini, Alif bertemu begitu banyak orang yang berbeda ras dan kebudayaan. Teman-temannya dari Kanada, orangtua angkatnya di Saint Raymond, orang Indian, dan seorang gadis yang membuat hatinya tak karuan, Raisa.

Membaca kisah ini penuh dengan tawa, haru, cinta dan inspirasi pembangkit semangat. Terutama di saat ayah Alif meninggal dan dimakamkan entah mengapa saya begitu meresapi kesedihan itu hingga saya ikut menangis. Kemudian di saat Alif mendapat pengalaman pertukaran pelajar dan bersahabat dengan Rusdi, kelucuan mahasiswa asal Kalimantan itu mengakrabkan para mahasiswa peserta dari Indonesia. Dan kegigihan Alif agar bisa terpilih pada program pertukaran pemuda serta tekadnya agar bisa mendapatkan medali emas tentu saja memberikan inspirasi pada kita sebagai insan yang selalu ingin mengembangkan potensi diri.

Lagi-lagi Ahmad Fuadi menuliskan novel ini dengan bahasa lugas dan populer. Kecintaannya pada daerah asalnya yaitu Sumatera Barat mewarnai novel ini dan membuat pembaca lebih memahami salah satu kekayaan budaya asli Indonesia.

Jika Anda masih mempunyai mimpi, dan semestinya kita mempunyai mimpi, jangan takut mewujudkannya. Karena sesungguhnya Allah bersama orang yang mau berusaha dan bersabar. Man jadda wajada!! Man shabara zhafira!!

Ersina Rakhma
Penikmat Buku, Tinggal di Jakarta