Kamis, 28 September 2017

Menjaganya Selama 38 Minggu (part 1)

#flashback....

Setelah dinyatakan positif hamil, dsog-ku (dokter kandungan, red.) memberikan beberapa obat/vitamin, yaitu ascardia (obat pengencer darah), forbetes (obat penurun gula darah), utrogestan (untuk menguatkan rahim) dan asam folat. Dua minggu sesudahnya kembali ke dsog dan terdengarlah detak jantungnya... It feels so amazing... It sounds amazing too.

Menjalani kehamilan yang pertama ini, alhamdulillah aku ga mengalami morning sickness. Ga ada mual, muntah, heartburn, ngidam dll. Mau makan apa aja sok mangga hajar ajahh. Tapi tetap harus dikontrol sih, yang pertama, agar kenaikan berat badanku ga melonjak jauh. As u know, BBku kan udah banyak, menurut salah satu situs yang aku baca, seharusnya kenaikan BBku selama hamil maksimal 7kg. Waaowwwww..... gimana nih cara mengontrol BB agar hanya naik segitu, sementara banyak bumil2 yang naiknya bisa mencapai 20 bahkan 30kg. Akhirnya dengan segala daya upaya yang aku bisa, BBku naik 11kg sajah.

Yang kedua, mengontrol gula darah. Awalnya aku crita ke dsog knapa aku sering pipis, itu di awal kehamilan. Lalu dsog ngasih pengantar untuk cek darah di lab. Dan hasilnya gula darah naik. Dsog ngerujuk aku ke dokter spesialis penyakit dalam (internis), masih di RSU Bunda Menteng. Oleh internis dikasih pengantar ke dokter spesialis gizi. Pertama ke dokter gizi (kali ini di RS Pondok Indah), dikasih tabel dan seberapa banyak makanan yang boleh dikonsumsi dalam satu hari. Dan jujur, hal itu bikin agak stres. Harus nimbang makanan, harus ini itu, whoaaaaa.... Akhirnya daku hanya 2x ke dokter gizi, yang penting taulah makanan apa yang harus dikurangi atau yg harus banyak dikonsumsi. Memasuki trimester 3 aku cek darah lagi, dan gula darah masih diatas normal. Jadi internis menambahkan insulin yang harus disuntikkan setiap mau makan besar. Awalnya aku mbayangin suntikan yg panjang seperti kalo mau diambil darahnya. Ternyata suntikannya bentuknya panjang seperti bolpen, sudah berisi insulin. Lalu stiap mau menyuntik, kita memasang jarum yg kecil, disuntikkan di perut di sekitar pusar. Kalo lagi di rumah atau di kantor sih gpp ya. Tapi kalo lagi jajan di luar ituuu yg agak susah. Paling2 sebelum turun dr mobil nyuntik dulu hahahaha...

Hal lain yang membuat agak stres sebenarnya adalah, waktu hamil itu mendekati tenggat waktu untuk menyelesaikan kuliah S-2. Entah bener atau hanya pembelaan diri, katanya otak wanita itu menurun kemampuannya saat hamil hahaha. Begitulah yang terjadi, aku harus bolak balik ke Bandung untuk konsultasi dengan dosen pembimbing. Sangat bersyukur alhamdulillah bahwa dosenku sangat baik dan selalu memberikan arahan. Dan juga ada teman kantor yg sekolah bareng, jadi urusan ke Bandung selalu bareng dia.

Mendekati HPL (29 September 2015), aku mulai kontrol seminggu sekali. Di minggu ke-38, hari Jumat tgl 11 September, aku sudah cuti, sedang bersiap untuk kontrol. Aku WA ke suami, nanya apa koper perlengkapanku dan baby sebaiknya dibawa saja? Suami mengiyakan, jadi aku memasukkan koper ke mobil. Siang itu seperti biasa lalu lintas ga sepadat pagi. Aku menyetir dengan kecepatan sedang, santai aja karena waktu kontrol masih agak lama. Sengaja berangkat lebih awal agar ga stres di jalan. Sampai di Morula BIC Menteng, seperti biasa setelah memberikan buku periksa di bagian pendaftaran, ke toilet, lalu turun ke musholla untuk sholat Dzuhur. Selesai sholat, naik ke atas, duduk sebentar untuk meredakan lelah. Setelah nafas normal, aku ke belakang ke meja suster, minta timbang dan tensi. Saat tensi manual, tensiku 140/100, lebih tinggi dari biasanya. FYI, tensiku selalu normal, paling tinggi 120 atasnya, termasuk saat hamil juga selalu normal.

Masuk ke ruang dokter.....
A: Dok, kok tensi saya tadi naik ya
IRS: Hah...berapa?
A: 140/100
IRS: Hah... abis ini ke ruang bersalin di RSIA ya, CTG.

Bersambung ke part 2....

Rabu, 20 September 2017

Satu Hari yang Indah part 3


Sore ini aku mandi sambil bernyanyi dalam hati karena katanya kan gak boleh nyanyi di kamar mandi. Tanpa mengeluarkan semua baju dari lemari dan melemparkan ke kasur, seperti di film-film, aku sudah siap dengan blus dan celana jins, sedikit membubuhkan bedak dan lip gloss tipis. Jangan bersolek terlalu tebal, nanti Arya malah il-feel, batinku sambil cekikikan. Dalam hati tentunya.
Sekitar jam tujuh, pintu kamar kosku diketuk.
“Na,” panggil Arya.
“Hai,” sahutku setelah membuka pintu.
Arya tersenyum, dia nampak begitu manis. Oh Tuhan, apakah malam ini akan berakhir seperti yg aku harapkan?
“Yuk berangkat,” katanya.
Arya mengendarai motornya pelan, mengarah ke selokan Mataram lalu belok ke kanan menyusuri Selokan.
“Na, kamu udah makan?” Tanya dia.
“Belum sih Ya. Kamu udah?” aku balik nanya.
“Belum juga. Masih kenyang siomay tadi,” jawabnya. “Makannya abis dari Sekaten aja ya?”
“Oke”.
Dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam saja, akhirnya Arya memarkirkan motor di seputaran Kantor Pos Jogja saat jam tanganku menunjukkan jam 7.20. lalu kami berjalan menuju pintu masuk Sekaten.
“Raina!!” aku mendengar seseorang memanggilku sambil melambaikan tangannya.
“Eh mbak Rere,” ternyata teman kosku. “Udah mau pulang?”
“Iya Na, kamu baru dateng nih?” tanyanya sambil melirik Arya dengan pandangan kepo.
“Ho oh mbak,” jawabku singkat.
“Ya udah aku duluan ya,” pamitnya.
Sambil melambaikan tangan tanda berpisah, aku kembali melanjutkan jalanku dengan Arya. Sesekali Arya menggamit tanganku saat melewati keramaian. Tapi saat suasana dia rasa aman, dia melepaskan tanganku. Aku tidak mau melambungkan angan terlalu tinggi, aku tidak tau apakah ada kesamaan keinginan di antara kami.
Kami pun berjalan dari stand ke stand. Sambil melihat-lihat apakah ada barang yang unik dan menarik.
“Na, itu apaan ya kok rame standnya?” Tanya Arya. Lalu tangannya menarik tanganku, “ kesana yuk”.
Untung saja tidak ada orang yang aku kenal disana, sementara wajahku bersemu merah. Ya, aku bahagia.
Ternyata stand itu adalah stand bimbingan belajar yang cukup ternama di Jogja. Mereka memberikan permainan otak dengan iming-iming hadiah. Entah apa hadiahnya.
“Ayo mas, dicoba,” salah seorang penjaga stand menawari Arya. Arya hanya tersenyum dan berusaha menolak dengan halus.
“Coba yuk, Ya,” ajakku.
Permainan itu berupa sebuah persegi panjang dengan lubang-lubang di atasnya, semacam papan dakon. Lalu lubang-lubang itu harus terisi oleh bola-bola yang terangkai dengan beberapa pola. Ada yang bolanya dua berpola lurus, atau bolanya tiga berbentuk segitiga, dan lain-lain. Aku menyukai permainan semacam ini.
Pada kesempatan pertama aku boleh memindahkan bola tersebut jika ternyata tidak pas. Dan aku berhasil menyelesaikan permainan itu. Lalu si penjaga stand menawarkan hadiah untuk permainan kedua, dengan syarat aku harus meletakkan bola-bola itu satu kali saja, tidak boleh dipindah-pindah. Akupun merasa tertantang. Dengan kekuatan bulan…. Eh bukan…dengan kekuatan otakku tentu saja, aku berhasil menyelesaikannya. Dan akupun menimang-nimang sebuah boneka lucu yang ternyata adalah kapur barus.
“Kamu tuh ya, masih aja pinter kayak dulu. Makan apa sih?” kata Arya sambil tertawa.
Akupun ikut tertawa. “Padahal seringnya makan burjo, hahahahaha…”
Jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka 9. Arya pun mengajakku meninggalkan area Sekaten ini.
“Makan dimana, Na?”
“Mana ya Ya?”
“Yee, ditanyain malah balik nanya.”
“Hehehe.”
Arya mengendarai motornya menuju arah kosku.
“Burjo deket kosmu yang enak yang mana Na?”
“Deket kampus aja, ada burjo Yogi” Akupun menunjukkan ancer-ancer menuju burjo yang aku maksud. Sambil komat-kamit berdoa semoga tidak ada teman kuliahku yang sedang nongkrong di burjo itu. Aku malas menjadi bahan berita di kampus. Walaupun belum tentu akan menjadi berita karena teman-temanku bukan tipe penggosip hahahaha.
“Mang intel rebus sama es kopimik ya,” langsung kupesan menu favoritku di warung burjo ini.
“Kopimik?” Tanya Arya.
“Iya kopimik, kan mamangnya susah ngomong ep,” sahutku sambil ngakak. Si mamang burjo juga ikut tertawa.
“Dasarrr kamu Na,” Arya lagi-lagi mengacak-acak rambutku. “Samain aja mang.”
Untuuuung tidak ada makhluk dari kampusku yang menyambangi burjo malam ini. Sehingga tidak ada saksi memerahnya wajahku untuk yang kesekian kalinya.
“Na,” kata Arya setelah kami sama-sama menghabiskan intel rebus hingga tetes terakhir.
“Hmmm?” aku menjawab sambil menengok ke arah Arya.
“Makasih ya seharian udah nemenin aku jalan.”
“Aku seneng kok bisa jalan sama kamu.”
Arya tersenyum.
“Lagiaaannn…” ragu-ragu kuteruskan ucapanku.
“Lagian apa Na?”
“Mmmmm….”
“Apaaannn?”
“Lagian kan dulu jaman kita pacaran, kita ga pernah jalan.” Aku menjawab masih dengan ragu-ragu, takut Arya marah.
“Hehehe, iya juga sih.”
“Ya,”
“Opo?”
“Kamu jangan marah yaa.”
“Iyaa..”
“Mmmm…boleh gak sih kalo aku berharap kita bisa nyoba lagi?
Arya kini menatapku dengan pandangan serius. Mungkin dia tidak menyangka aku akan berani berkata seperti itu.
“Na..”
“Ga usah dijawab gak papa Ya. Maaf ya..”
“Kenapa minta maaf?”
“Takutnya kamunya marah, ga suka aku ngomong kaya gini.”
“Enggaklah…kenapa juga aku harus marah.”
Aku memainkan sedotan di gelasku. Gak berani memandang wajahnya.
“Na,” kata Arya pelan. “Sebenarnya aku pernah memikirkan hal yang sama.”
Sejenak aku bahagia, perlahan aku menoleh ke arahnya.
“Tapi…”
Bahagiaku sedikit menyurut.
“Jujur aja aku minder.”
“Aku minder karena orangtuaku bukanlah orang kaya,” lanjut Arya.
Aku yang tadi sempat membuka mulut untuk bertanya kini mendengarkan cowok itu sambil menenangkan hati.
“Aku bekerja paruh waktu untuk meringankan beban bapak. Apalagi aku kuliah di swasta, uang kuliah lebih mahal. Sedangkan aku tau orangtuamu kaya. Mereka bisa membiayai kuliahmu, kosmu yang bagus, dan mungkin fasilitas yang lain. Dan aku minder sama kamu, karena kamu lebih cerdas dariku. Apa yang bisa diandalkan dari aku Na? Bahkan aku hanya mampu traktir kamu siomay dan burjo”
“Yang aku tau kamu adalah pekerja keras Ya, bukan anak manja yang datang ke Jogja dengan mengandalkan kiriman dari orangtua. Buatku kamu punya nilai lebih, Ya.”
Dan malam itu berakhir saat Arya mengantarku ke kos dan mengucapkan selamat malam. Satu hari yang indah yang akan selalu aku kenang walau boneka kapur barus dari Sekaten tadi habis dimakan masa.