Rabu, 31 Agustus 2016

SATU HARI YANG INDAH (part 2)

Setelah memarkir motorku dengan baik dan benar, aku meminta ijin untuk sholat dzuhur sebentar, dan ternyata Arya pun menumpang sholat di kamarku. Lima belas menit kemudian aku pun sudah duduk di motor Arya. Cowok itu mengarahkan motornya ke selatan, menuju jalan Solo. Lalu berbelok ke arah barat, menyusuri jalan Solo. Aku tidak berani melingkarkan tanganku ke badannya, walau aku sangat ingin.
Di atas motor kami bercakap-cakap ringan, bercerita tentang kuliah masing-masing. Dia bercerita bahwa dia juga bekerja paruh waktu, sekedar untuk menambah uang jajan. Kekagumanku terhadap kemandiriannya makin besar. Aku tau sejak SMA dia sudah berusaha mandiri karena dia bersekolah di kota yang berbeda dari orangtuanya. Jadi dia tidak ingin menambah beban orangtuanya. Aku yakin tidak semua cowok seusiaku mempunyai sikap yang seperti itu. Contohnya, mantanku yg kedua. Oops.
Tak terasa kami sudah sampai di daerah dekat terminal Umbulharjo, berhenti di warung teman Arya. Kebetulan si teman itu sedang berada di warungnya.
“Woy Ya, akhirnya datang juga,” sambut temannya itu.
“Iya nih Ga, sori baru sempet sekarang,” jawab Arya sambil menyalami temannya. “Kenalin nih, Raina,” sambungnya memperkenalkan kami.
“Raina,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Yoga,” jawab si teman menyambut uluran tanganku. “Pacarnya Arya ya?” tebaknya.
Aku berpandangan dengan Arya sambil tertawa. Aku tidak menjawab, kubiarkan Arya saja yang menjawabnya.
“Temen SMP,” itu jawaban Arya.
“Beneran?” Tanya Yoga sambil melihat ke arahku tidak percaya.
“Iya bener,” jawabku sambil tertawa.
Yoga menawari kami makanan dan minuman yang tersedia di warungnya. Kami memutuskan memesan jus dan siomay saja. Lalu dua pria itu terlibat percakapan yang tidak melibatkan aku. Dari yang aku dengar, Arya sedang bertanya mengenai tips-tips berbisnis pada Yoga. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan bisnis, namun aku tetap menyimak percakapan itu. Lebih tepatnya memperhatikan cowok hitam manis yang duduk di seberang mejaku ini.
Pikiranku membawa kembali ke masa SMP, sekitar Sembilan tahun yang lalu. Aku mengenalnya sebagai teman sekelasku. Tidak ada kegiatan ekskul yang kami lakukan bersama. Dia mengikuti kegiatan Pramuka, sedangkan aku memilih voli. Di kelaspun kami duduk tidak berdekatan. Kesamaan kami hanyalah tempat les bahasa Inggris yang sama, dengan jadwal yang berbeda. Kelasku dimulai setelah kelasnya selesai. Terkadang kami ngobrol sebentar sebelum dia pulang. Tidak ada yang istimewa saat kami masih berumur 12-13 tahun itu.
Saat pertengahan semester 2, aku harus pindah mengikuti orangtuaku yang ditugaskan di kota lain. Masih kuingat jelas, dia meminta alamatku yang baru. Untuk berkirim surat, katanya waktu itu. Dan benar, sejak kepindahanku kami selalu berkirim surat. Sekedar bercerita tentang sekolahku yang baru, atau dia menceritakan teman-teman kami yang di sekolah lama. Terkadang dia menyebutkan nama seorang teman cowok yang lain, yang menurut dia menyukai aku. Tanpa sadar aku tersenyum, aahhh salah satu masa indahku.
“Woyyy,” Arya melambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku pun tersentak.
“Ngelamunin apaan sih kayanya asik banget,” kata Arya.
Aku pun hanya tertawa sambil meminum jusku. “Yoga mana?” tanyaku saat tidak melihat Yoga duduk di sebelahnya.
“Halaahhh, ngelamunnya khusyu banget sampe gak sadar kalo Yoga tadi pamit mau pulang duluan”, jawab Arya sambil tertawa ngakak.
“Hahhhh,” aku bengong, lalu ikut tertawa.
“Yuk diabisin, kita balik,” ajak Arya.
Yaaahhhhh, balik sekarang???
Kembali kami melaju di jalan, Arya mengambil rute kembali ke kosku. Jam tanganku menunjukkan pukul empat sore. Dengan kecepatan 40 km/jam, Arya memarkirkan motornya di kosku sekitar 30 menit kemudian. Kembali Arya numpang sholat asar di kamarku. Setelah aku pun selesai sholat, kami duduk-duduk di depan kamarku. Saat sedang ngobrol-ngobrol, beberapa teman kosku menuju parkiran motor bersiap pergi.
Iseng aku bertanya ke salah satu dari mereka, “Mau kemana mbak?”
“Ke sekatenan Na,” jawab Mbak Rere.
“Sekarang lagi ada sekatenan ya?” tanyaku lagi.
“Iya, udah semingguan ini. Yuk kesana,” ajaknya.
“Ya mbak, makasih. Ntar aja,” tolakku halus.
Tak lama kemudian mereka sudah berangkat meninggalkan kos.
Tiba-tiba Arya menanyakan sesuatu padaku.
Aku yang masih memperhatikan motor-motor teman kosku pergi menoleh pada Arya dengan sedikit kaget, “Hah?”
“Ishhh, dasar kuping,” Arya mengacak rambutku pelan.
Aku hanya meringis.
“Udah pernah ke sekaten?” Arya mengulang pertanyaannya.
“Oooooooo,” aku baru mengerti. “Kalo yang di Jogja belum.”
“Kesana yuk.”
“Hahhhh??” kali ini aku benar-benar kaget.
“Kamu nihhh parah banget kupingnya,” Arya menunjukkan wajah gemas.
Aku tertawa, “Bukan gitu. Kaget aja tiba-tiba kamu ngajak ke sekaten.”
“Emang kenapa? Takut cowokmu marah ya?”
Akupun teringat kalo hari ini Sabtu.
“Enggak laahhh… Kan tadi kita abis pergi, kaget aja kok ngajak pergi lagi.”
“Jadi gak mau?”
“Ya mauuuuu.”
Arya tertawa. Lalu dia bangkit dari kursinya. “Ya udah aku balik ke kos dulu. Abis maghrib aku jemput ya.”

“Oke,” jawabku.

(bersambung ke part 3)

SATU HARI YANG INDAH (part 1)

Huft, akhirnya selesai juga laporan akhir praktikum ini aku ketik. Aku susun lembaran-lembaran kertas setebal 60 halaman yang diketik dengan mesin ketik milik kakakku dulu. Yap, di jaman yang sudah mulai menggunakan komputer, printer dan disket ini, laporan tidak boleh diketik menggunakan komputer.  Indah sekali kan?
Kulihat jam dinding, jarum panjang menunjuk ke angka 11. Setelah mandi, aku akan menjilidkan laporan ini, lalu menuju tempat penyewaan komik. Hari ini akan kuhabiskan dengan membaca komik Detektif Conan beberapa jilid, dan jika beruntung, aku bisa meminjam buku Harry Potter terbaru. Hmmmm, hari yang indah.
Motor kuparkir di depan Exclusive, toko yang melayani fotokopi, penjilidan dan lain-lain. Baru sedetik kuhempaskan badanku ke kursi tinggi di depan meja, tiba-tiba, “Hei Na, apa kabar?” Suara seorang cowok menyapaku ramah.
Kutengok ke kiri ke arah sumber suara. Dengan sedikit terkejut, “Haaii Ya, baikkk… Kamu apa kabar? Kok bisa sampe sini?”
“Baik juga. Kamu mau fotokopi?”
“Enggak, aku mau jilid laporan. Eh bentar ya, aku jilid ini dulu,” kataku sambil memanggil salah satu pegawai toko. Tanpa menunggu jawabannya aku langsung menyebutkan jilidan yang aku mau ke pegawai itu. Kemudian si pegawai membawa laporanku, dia menjanjikan jilidan akan selesai dalam waktu 30 menit.
Aku kembali menengok ke cowok tadi. “Eh kamu belum jawab, kamu ngapain kesini? Mau jilid juga?”
Cowok itu menjawab, “Enggak. Aku tadi pas lewat sini lihat kamu belok ke toko ini. Trus aku ikut belok aja kesini.”
Wajahku terasa sedikit menghangat. Dia ingin bertemu denganku.
“Emang kamu mau kemana?” tanyaku.
“Tadinya sih mau main ke tempat temenku, katanya dia sekarang buka warung kecil-kecilan.”
“Oooo,” aku sambil manggut-manggut.
Dia Arya, mantan kekasihku yang pertama kali. Temanku di bangku SMP yang masih selalu berkomunikasi denganku walau sudah berbeda kota. Dan di masa SMA kami sama-sama mengakui mempunyai perasaan yang sama, lalu memutuskan untuk berpacaran. Walau tidak lama, tetapi delapan purnama itu cukup berkesan.
“Na, abis ini kamu mau kemana?” Tanya Arya membuyarkan lamunanku.
“Gak ada acara sih, paling sewa komik aja hehehe,” jawabku sambil tertawa.
“Kamu nih masih aja doyan komik ya,” katanya balik tertawa.
“Masih inget Ya?” Sepertinya wajahku agak memerah.
“Iyalah. Kan dulu kamu sering cerita di surat-suratmu.”
“Emang surat-suratku masih ada?” tanyaku penasaran.
“Masih ada di rumah. Emang surat-suratku udah ga ada?”
“Masih juga, di rumah.”
Hatiku terasa makin hangat mengetahui hal itu. Teringat aku selalu menunggu-nunggu surat-surat dipajang di jendela ruang TU sekolah. Ledekan sahabat-sahabatku saat aku menerima surat dari Arya. Surat itu selalu kubuka di kelas dengan tak sabar. Ingin mengetahui kabar Arya, apa yang dia alami di hari-hari kemarin. Dan sesampainya di rumah, aku tak sabar menuliskan balasan surat itu. Ingin kuceritakan semuanya, tentang sekolahku, kelinciku, ataupun tentang sahabat-sahabatku. Masih teringat di salah satu suratku aku menulis bahwa salah satu sahabatku mengundangku dan dia untuk datang di acara ulangtahunnya yang ke-17. Arya pun bertanya transportasi umum apa yang dia gunakan untuk sampai di kotaku? Tetapi aku tidak berani mengambil resiko, aku takut orangtuaku tahu bahwa aku punya pacar. Dengan terpaksa aku mengatakan padanya bahwa dia tidak perlu datang. Aku juga kasihan, dia harus melewati tiga kota untuk mencapai kotaku, selain itu dia juga harus menyisihkan uang sakunya hanya untuk ke kotaku.
“Mbak, ini jilidannya udah selesai,” mbak pegawai mengusik lamunanku.
“Eh,” wajahku sedikit terkejut. “Oiya mbak.” Setelah mengecek hasilnya dan menyelesaikan pembayaran, “Ya jilidanku udah selesai. Kamu mau kemana?”
“Kita jalan aja yuk. Mau?” ajaknya.
Mau banget laaahhhh, hatiku berkata dengan girang. Tapi dengan bodohnya aku balik bertanya, “Kemana?”
Arya mengangkat bahu. “Kemana ajalah, puter-puter Jogja.”
“Katanya mau ke warungnya temenmu?” Bodoh banget, rutukku. Kenapa sih gak langsung jawab iya aja, gak usah nanya-nanya. Kalo Arya berubah pikiran gimana????
“Ya nanti mampir kesana aja bentar.” Arya lalu berdiri, “Udah yuk, mampir kosmu dulu taruh motormu.”
Tanpa bertanya lagi aku langsung mengikuti dia keluar dan 5 menit kemudian kami telah sampai di kosku.

(bersambung ke part 2)

Cerpen

Duluuuuu.... jaman SMA, aku suka menulis cerpen. Isinya ga jauh-jauh soal romansa remaja. Hampir semuanya berkisah tentang cewe yg secara fisik ga dipandang sempurna oleh cowo2 usia remaja, tetapi akhirnya ada cowok yang mencintai dia apa adanya dia. Dan kadang kalimat endingnya terlalu klise, atau terlalu romantis, atau terlalu "wagu" kalo orang jawa bilang. Aku sadar kalo tulisan itu menyuarakan suara hatiku yang ga sempurna di mata cowok2 seusiaku, dan aku ingin dicintai seperti apa adanya aku. Lucu memang, tapi itulah cerpen yang aku buat.

Jaman aku SMA masih jarang komputer. Jadi cerpen2 itu aku tulis tangan di lembaran hvs bergaris, mohon dimaklumi jika banyak noda tip-ex disitu. Pembaca setiaku seringnya kakakku yang perempuan, dan terkadang teman2 dekatku di kelas. Mungkin kakakku dalam hati menertawakan cerpenku yang sangat khas abg, kalo jaman sekarang mungkin disebut abg alay. Tapi dia menghargai cerita2 yang aku tulis. Aku sangat berterimakasih untuk itu. Love u sist xoxo.

Berhubung cerpen2 itu dalam bentuk tulisan tangan dan tersimpan di rumah orangtuaku di Solo (mudah2an masih ada), sekarang aku ingin mencoba menulis cerpen lagi dengan setting yang lebih dewasa sedikit. Selamat membaca!!