Setelah memarkir motorku dengan baik dan
benar, aku meminta ijin untuk sholat dzuhur sebentar, dan ternyata Arya pun
menumpang sholat di kamarku. Lima belas menit kemudian aku pun sudah duduk di
motor Arya. Cowok itu mengarahkan motornya ke selatan, menuju jalan Solo. Lalu
berbelok ke arah barat, menyusuri jalan Solo. Aku tidak berani melingkarkan
tanganku ke badannya, walau aku sangat ingin.
Di atas motor kami bercakap-cakap ringan,
bercerita tentang kuliah masing-masing. Dia bercerita bahwa dia juga bekerja
paruh waktu, sekedar untuk menambah uang jajan. Kekagumanku terhadap
kemandiriannya makin besar. Aku tau sejak SMA dia sudah berusaha mandiri karena
dia bersekolah di kota yang berbeda dari orangtuanya. Jadi dia tidak ingin
menambah beban orangtuanya. Aku yakin tidak semua cowok seusiaku mempunyai
sikap yang seperti itu. Contohnya, mantanku yg kedua. Oops.
Tak terasa kami sudah sampai di daerah
dekat terminal Umbulharjo, berhenti di warung teman Arya. Kebetulan si teman
itu sedang berada di warungnya.
“Woy Ya, akhirnya datang juga,” sambut
temannya itu.
“Iya nih Ga, sori baru sempet sekarang,”
jawab Arya sambil menyalami temannya. “Kenalin nih, Raina,” sambungnya
memperkenalkan kami.
“Raina,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Yoga,” jawab si teman menyambut uluran
tanganku. “Pacarnya Arya ya?” tebaknya.
Aku berpandangan dengan Arya sambil
tertawa. Aku tidak menjawab, kubiarkan Arya saja yang menjawabnya.
“Temen SMP,” itu jawaban Arya.
“Beneran?” Tanya Yoga sambil melihat ke
arahku tidak percaya.
“Iya bener,” jawabku sambil tertawa.
Yoga menawari kami makanan dan minuman yang
tersedia di warungnya. Kami memutuskan memesan jus dan siomay saja. Lalu dua
pria itu terlibat percakapan yang tidak melibatkan aku. Dari yang aku dengar,
Arya sedang bertanya mengenai tips-tips berbisnis pada Yoga. Sebenarnya aku kurang
tertarik dengan bisnis, namun aku tetap menyimak percakapan itu. Lebih tepatnya
memperhatikan cowok hitam manis yang duduk di seberang mejaku ini.
Pikiranku membawa kembali ke masa SMP,
sekitar Sembilan tahun yang lalu. Aku mengenalnya sebagai teman sekelasku. Tidak
ada kegiatan ekskul yang kami lakukan bersama. Dia mengikuti kegiatan Pramuka,
sedangkan aku memilih voli. Di kelaspun kami duduk tidak berdekatan. Kesamaan kami
hanyalah tempat les bahasa Inggris yang sama, dengan jadwal yang berbeda. Kelasku
dimulai setelah kelasnya selesai. Terkadang kami ngobrol sebentar sebelum dia
pulang. Tidak ada yang istimewa saat kami masih berumur 12-13 tahun itu.
Saat pertengahan semester 2, aku harus
pindah mengikuti orangtuaku yang ditugaskan di kota lain. Masih kuingat jelas,
dia meminta alamatku yang baru. Untuk berkirim surat, katanya waktu itu. Dan benar,
sejak kepindahanku kami selalu berkirim surat. Sekedar bercerita tentang
sekolahku yang baru, atau dia menceritakan teman-teman kami yang di sekolah
lama. Terkadang dia menyebutkan nama seorang teman cowok yang lain, yang
menurut dia menyukai aku. Tanpa sadar aku tersenyum, aahhh salah satu masa indahku.
“Woyyy,” Arya melambaikan tangannya di
depan wajahku.
Aku pun tersentak.
“Ngelamunin apaan sih kayanya asik banget,”
kata Arya.
Aku pun hanya tertawa sambil meminum jusku.
“Yoga mana?” tanyaku saat tidak melihat Yoga duduk di sebelahnya.
“Halaahhh, ngelamunnya khusyu banget sampe
gak sadar kalo Yoga tadi pamit mau pulang duluan”, jawab Arya sambil tertawa
ngakak.
“Hahhhh,” aku bengong, lalu ikut tertawa.
“Yuk diabisin, kita balik,” ajak Arya.
Yaaahhhhh, balik sekarang???
Kembali kami melaju di jalan, Arya
mengambil rute kembali ke kosku. Jam tanganku menunjukkan pukul empat sore. Dengan
kecepatan 40 km/jam, Arya memarkirkan motornya di kosku sekitar 30 menit kemudian.
Kembali Arya numpang sholat asar di kamarku. Setelah aku pun selesai sholat,
kami duduk-duduk di depan kamarku. Saat sedang ngobrol-ngobrol, beberapa teman
kosku menuju parkiran motor bersiap pergi.
Iseng aku bertanya ke salah satu dari mereka,
“Mau kemana mbak?”
“Ke sekatenan Na,” jawab Mbak Rere.
“Sekarang lagi ada sekatenan ya?” tanyaku
lagi.
“Iya, udah semingguan ini. Yuk kesana,”
ajaknya.
“Ya mbak, makasih. Ntar aja,” tolakku
halus.
Tak lama kemudian mereka sudah berangkat
meninggalkan kos.
Tiba-tiba Arya menanyakan sesuatu padaku.
Aku yang masih memperhatikan motor-motor
teman kosku pergi menoleh pada Arya dengan sedikit kaget, “Hah?”
“Ishhh, dasar kuping,” Arya mengacak
rambutku pelan.
Aku hanya meringis.
“Udah pernah ke sekaten?” Arya mengulang
pertanyaannya.
“Oooooooo,” aku baru mengerti. “Kalo yang
di Jogja belum.”
“Kesana yuk.”
“Hahhhh??” kali ini aku benar-benar kaget.
“Kamu nihhh parah banget kupingnya,” Arya
menunjukkan wajah gemas.
Aku tertawa, “Bukan gitu. Kaget aja
tiba-tiba kamu ngajak ke sekaten.”
“Emang kenapa? Takut cowokmu marah ya?”
Akupun teringat kalo hari ini Sabtu.
“Enggak laahhh… Kan tadi kita abis pergi,
kaget aja kok ngajak pergi lagi.”
“Jadi gak mau?”
“Ya mauuuuu.”
Arya tertawa. Lalu dia bangkit dari
kursinya. “Ya udah aku balik ke kos dulu. Abis maghrib aku jemput ya.”
“Oke,” jawabku.
(bersambung ke part 3)