Kamis, 28 September 2017

Menjaganya Selama 38 Minggu (part 1)

#flashback....

Setelah dinyatakan positif hamil, dsog-ku (dokter kandungan, red.) memberikan beberapa obat/vitamin, yaitu ascardia (obat pengencer darah), forbetes (obat penurun gula darah), utrogestan (untuk menguatkan rahim) dan asam folat. Dua minggu sesudahnya kembali ke dsog dan terdengarlah detak jantungnya... It feels so amazing... It sounds amazing too.

Menjalani kehamilan yang pertama ini, alhamdulillah aku ga mengalami morning sickness. Ga ada mual, muntah, heartburn, ngidam dll. Mau makan apa aja sok mangga hajar ajahh. Tapi tetap harus dikontrol sih, yang pertama, agar kenaikan berat badanku ga melonjak jauh. As u know, BBku kan udah banyak, menurut salah satu situs yang aku baca, seharusnya kenaikan BBku selama hamil maksimal 7kg. Waaowwwww..... gimana nih cara mengontrol BB agar hanya naik segitu, sementara banyak bumil2 yang naiknya bisa mencapai 20 bahkan 30kg. Akhirnya dengan segala daya upaya yang aku bisa, BBku naik 11kg sajah.

Yang kedua, mengontrol gula darah. Awalnya aku crita ke dsog knapa aku sering pipis, itu di awal kehamilan. Lalu dsog ngasih pengantar untuk cek darah di lab. Dan hasilnya gula darah naik. Dsog ngerujuk aku ke dokter spesialis penyakit dalam (internis), masih di RSU Bunda Menteng. Oleh internis dikasih pengantar ke dokter spesialis gizi. Pertama ke dokter gizi (kali ini di RS Pondok Indah), dikasih tabel dan seberapa banyak makanan yang boleh dikonsumsi dalam satu hari. Dan jujur, hal itu bikin agak stres. Harus nimbang makanan, harus ini itu, whoaaaaa.... Akhirnya daku hanya 2x ke dokter gizi, yang penting taulah makanan apa yang harus dikurangi atau yg harus banyak dikonsumsi. Memasuki trimester 3 aku cek darah lagi, dan gula darah masih diatas normal. Jadi internis menambahkan insulin yang harus disuntikkan setiap mau makan besar. Awalnya aku mbayangin suntikan yg panjang seperti kalo mau diambil darahnya. Ternyata suntikannya bentuknya panjang seperti bolpen, sudah berisi insulin. Lalu stiap mau menyuntik, kita memasang jarum yg kecil, disuntikkan di perut di sekitar pusar. Kalo lagi di rumah atau di kantor sih gpp ya. Tapi kalo lagi jajan di luar ituuu yg agak susah. Paling2 sebelum turun dr mobil nyuntik dulu hahahaha...

Hal lain yang membuat agak stres sebenarnya adalah, waktu hamil itu mendekati tenggat waktu untuk menyelesaikan kuliah S-2. Entah bener atau hanya pembelaan diri, katanya otak wanita itu menurun kemampuannya saat hamil hahaha. Begitulah yang terjadi, aku harus bolak balik ke Bandung untuk konsultasi dengan dosen pembimbing. Sangat bersyukur alhamdulillah bahwa dosenku sangat baik dan selalu memberikan arahan. Dan juga ada teman kantor yg sekolah bareng, jadi urusan ke Bandung selalu bareng dia.

Mendekati HPL (29 September 2015), aku mulai kontrol seminggu sekali. Di minggu ke-38, hari Jumat tgl 11 September, aku sudah cuti, sedang bersiap untuk kontrol. Aku WA ke suami, nanya apa koper perlengkapanku dan baby sebaiknya dibawa saja? Suami mengiyakan, jadi aku memasukkan koper ke mobil. Siang itu seperti biasa lalu lintas ga sepadat pagi. Aku menyetir dengan kecepatan sedang, santai aja karena waktu kontrol masih agak lama. Sengaja berangkat lebih awal agar ga stres di jalan. Sampai di Morula BIC Menteng, seperti biasa setelah memberikan buku periksa di bagian pendaftaran, ke toilet, lalu turun ke musholla untuk sholat Dzuhur. Selesai sholat, naik ke atas, duduk sebentar untuk meredakan lelah. Setelah nafas normal, aku ke belakang ke meja suster, minta timbang dan tensi. Saat tensi manual, tensiku 140/100, lebih tinggi dari biasanya. FYI, tensiku selalu normal, paling tinggi 120 atasnya, termasuk saat hamil juga selalu normal.

Masuk ke ruang dokter.....
A: Dok, kok tensi saya tadi naik ya
IRS: Hah...berapa?
A: 140/100
IRS: Hah... abis ini ke ruang bersalin di RSIA ya, CTG.

Bersambung ke part 2....

Rabu, 20 September 2017

Satu Hari yang Indah part 3


Sore ini aku mandi sambil bernyanyi dalam hati karena katanya kan gak boleh nyanyi di kamar mandi. Tanpa mengeluarkan semua baju dari lemari dan melemparkan ke kasur, seperti di film-film, aku sudah siap dengan blus dan celana jins, sedikit membubuhkan bedak dan lip gloss tipis. Jangan bersolek terlalu tebal, nanti Arya malah il-feel, batinku sambil cekikikan. Dalam hati tentunya.
Sekitar jam tujuh, pintu kamar kosku diketuk.
“Na,” panggil Arya.
“Hai,” sahutku setelah membuka pintu.
Arya tersenyum, dia nampak begitu manis. Oh Tuhan, apakah malam ini akan berakhir seperti yg aku harapkan?
“Yuk berangkat,” katanya.
Arya mengendarai motornya pelan, mengarah ke selokan Mataram lalu belok ke kanan menyusuri Selokan.
“Na, kamu udah makan?” Tanya dia.
“Belum sih Ya. Kamu udah?” aku balik nanya.
“Belum juga. Masih kenyang siomay tadi,” jawabnya. “Makannya abis dari Sekaten aja ya?”
“Oke”.
Dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam saja, akhirnya Arya memarkirkan motor di seputaran Kantor Pos Jogja saat jam tanganku menunjukkan jam 7.20. lalu kami berjalan menuju pintu masuk Sekaten.
“Raina!!” aku mendengar seseorang memanggilku sambil melambaikan tangannya.
“Eh mbak Rere,” ternyata teman kosku. “Udah mau pulang?”
“Iya Na, kamu baru dateng nih?” tanyanya sambil melirik Arya dengan pandangan kepo.
“Ho oh mbak,” jawabku singkat.
“Ya udah aku duluan ya,” pamitnya.
Sambil melambaikan tangan tanda berpisah, aku kembali melanjutkan jalanku dengan Arya. Sesekali Arya menggamit tanganku saat melewati keramaian. Tapi saat suasana dia rasa aman, dia melepaskan tanganku. Aku tidak mau melambungkan angan terlalu tinggi, aku tidak tau apakah ada kesamaan keinginan di antara kami.
Kami pun berjalan dari stand ke stand. Sambil melihat-lihat apakah ada barang yang unik dan menarik.
“Na, itu apaan ya kok rame standnya?” Tanya Arya. Lalu tangannya menarik tanganku, “ kesana yuk”.
Untung saja tidak ada orang yang aku kenal disana, sementara wajahku bersemu merah. Ya, aku bahagia.
Ternyata stand itu adalah stand bimbingan belajar yang cukup ternama di Jogja. Mereka memberikan permainan otak dengan iming-iming hadiah. Entah apa hadiahnya.
“Ayo mas, dicoba,” salah seorang penjaga stand menawari Arya. Arya hanya tersenyum dan berusaha menolak dengan halus.
“Coba yuk, Ya,” ajakku.
Permainan itu berupa sebuah persegi panjang dengan lubang-lubang di atasnya, semacam papan dakon. Lalu lubang-lubang itu harus terisi oleh bola-bola yang terangkai dengan beberapa pola. Ada yang bolanya dua berpola lurus, atau bolanya tiga berbentuk segitiga, dan lain-lain. Aku menyukai permainan semacam ini.
Pada kesempatan pertama aku boleh memindahkan bola tersebut jika ternyata tidak pas. Dan aku berhasil menyelesaikan permainan itu. Lalu si penjaga stand menawarkan hadiah untuk permainan kedua, dengan syarat aku harus meletakkan bola-bola itu satu kali saja, tidak boleh dipindah-pindah. Akupun merasa tertantang. Dengan kekuatan bulan…. Eh bukan…dengan kekuatan otakku tentu saja, aku berhasil menyelesaikannya. Dan akupun menimang-nimang sebuah boneka lucu yang ternyata adalah kapur barus.
“Kamu tuh ya, masih aja pinter kayak dulu. Makan apa sih?” kata Arya sambil tertawa.
Akupun ikut tertawa. “Padahal seringnya makan burjo, hahahahaha…”
Jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka 9. Arya pun mengajakku meninggalkan area Sekaten ini.
“Makan dimana, Na?”
“Mana ya Ya?”
“Yee, ditanyain malah balik nanya.”
“Hehehe.”
Arya mengendarai motornya menuju arah kosku.
“Burjo deket kosmu yang enak yang mana Na?”
“Deket kampus aja, ada burjo Yogi” Akupun menunjukkan ancer-ancer menuju burjo yang aku maksud. Sambil komat-kamit berdoa semoga tidak ada teman kuliahku yang sedang nongkrong di burjo itu. Aku malas menjadi bahan berita di kampus. Walaupun belum tentu akan menjadi berita karena teman-temanku bukan tipe penggosip hahahaha.
“Mang intel rebus sama es kopimik ya,” langsung kupesan menu favoritku di warung burjo ini.
“Kopimik?” Tanya Arya.
“Iya kopimik, kan mamangnya susah ngomong ep,” sahutku sambil ngakak. Si mamang burjo juga ikut tertawa.
“Dasarrr kamu Na,” Arya lagi-lagi mengacak-acak rambutku. “Samain aja mang.”
Untuuuung tidak ada makhluk dari kampusku yang menyambangi burjo malam ini. Sehingga tidak ada saksi memerahnya wajahku untuk yang kesekian kalinya.
“Na,” kata Arya setelah kami sama-sama menghabiskan intel rebus hingga tetes terakhir.
“Hmmm?” aku menjawab sambil menengok ke arah Arya.
“Makasih ya seharian udah nemenin aku jalan.”
“Aku seneng kok bisa jalan sama kamu.”
Arya tersenyum.
“Lagiaaannn…” ragu-ragu kuteruskan ucapanku.
“Lagian apa Na?”
“Mmmmm….”
“Apaaannn?”
“Lagian kan dulu jaman kita pacaran, kita ga pernah jalan.” Aku menjawab masih dengan ragu-ragu, takut Arya marah.
“Hehehe, iya juga sih.”
“Ya,”
“Opo?”
“Kamu jangan marah yaa.”
“Iyaa..”
“Mmmm…boleh gak sih kalo aku berharap kita bisa nyoba lagi?
Arya kini menatapku dengan pandangan serius. Mungkin dia tidak menyangka aku akan berani berkata seperti itu.
“Na..”
“Ga usah dijawab gak papa Ya. Maaf ya..”
“Kenapa minta maaf?”
“Takutnya kamunya marah, ga suka aku ngomong kaya gini.”
“Enggaklah…kenapa juga aku harus marah.”
Aku memainkan sedotan di gelasku. Gak berani memandang wajahnya.
“Na,” kata Arya pelan. “Sebenarnya aku pernah memikirkan hal yang sama.”
Sejenak aku bahagia, perlahan aku menoleh ke arahnya.
“Tapi…”
Bahagiaku sedikit menyurut.
“Jujur aja aku minder.”
“Aku minder karena orangtuaku bukanlah orang kaya,” lanjut Arya.
Aku yang tadi sempat membuka mulut untuk bertanya kini mendengarkan cowok itu sambil menenangkan hati.
“Aku bekerja paruh waktu untuk meringankan beban bapak. Apalagi aku kuliah di swasta, uang kuliah lebih mahal. Sedangkan aku tau orangtuamu kaya. Mereka bisa membiayai kuliahmu, kosmu yang bagus, dan mungkin fasilitas yang lain. Dan aku minder sama kamu, karena kamu lebih cerdas dariku. Apa yang bisa diandalkan dari aku Na? Bahkan aku hanya mampu traktir kamu siomay dan burjo”
“Yang aku tau kamu adalah pekerja keras Ya, bukan anak manja yang datang ke Jogja dengan mengandalkan kiriman dari orangtua. Buatku kamu punya nilai lebih, Ya.”
Dan malam itu berakhir saat Arya mengantarku ke kos dan mengucapkan selamat malam. Satu hari yang indah yang akan selalu aku kenang walau boneka kapur barus dari Sekaten tadi habis dimakan masa.

Rabu, 31 Agustus 2016

SATU HARI YANG INDAH (part 2)

Setelah memarkir motorku dengan baik dan benar, aku meminta ijin untuk sholat dzuhur sebentar, dan ternyata Arya pun menumpang sholat di kamarku. Lima belas menit kemudian aku pun sudah duduk di motor Arya. Cowok itu mengarahkan motornya ke selatan, menuju jalan Solo. Lalu berbelok ke arah barat, menyusuri jalan Solo. Aku tidak berani melingkarkan tanganku ke badannya, walau aku sangat ingin.
Di atas motor kami bercakap-cakap ringan, bercerita tentang kuliah masing-masing. Dia bercerita bahwa dia juga bekerja paruh waktu, sekedar untuk menambah uang jajan. Kekagumanku terhadap kemandiriannya makin besar. Aku tau sejak SMA dia sudah berusaha mandiri karena dia bersekolah di kota yang berbeda dari orangtuanya. Jadi dia tidak ingin menambah beban orangtuanya. Aku yakin tidak semua cowok seusiaku mempunyai sikap yang seperti itu. Contohnya, mantanku yg kedua. Oops.
Tak terasa kami sudah sampai di daerah dekat terminal Umbulharjo, berhenti di warung teman Arya. Kebetulan si teman itu sedang berada di warungnya.
“Woy Ya, akhirnya datang juga,” sambut temannya itu.
“Iya nih Ga, sori baru sempet sekarang,” jawab Arya sambil menyalami temannya. “Kenalin nih, Raina,” sambungnya memperkenalkan kami.
“Raina,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Yoga,” jawab si teman menyambut uluran tanganku. “Pacarnya Arya ya?” tebaknya.
Aku berpandangan dengan Arya sambil tertawa. Aku tidak menjawab, kubiarkan Arya saja yang menjawabnya.
“Temen SMP,” itu jawaban Arya.
“Beneran?” Tanya Yoga sambil melihat ke arahku tidak percaya.
“Iya bener,” jawabku sambil tertawa.
Yoga menawari kami makanan dan minuman yang tersedia di warungnya. Kami memutuskan memesan jus dan siomay saja. Lalu dua pria itu terlibat percakapan yang tidak melibatkan aku. Dari yang aku dengar, Arya sedang bertanya mengenai tips-tips berbisnis pada Yoga. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan bisnis, namun aku tetap menyimak percakapan itu. Lebih tepatnya memperhatikan cowok hitam manis yang duduk di seberang mejaku ini.
Pikiranku membawa kembali ke masa SMP, sekitar Sembilan tahun yang lalu. Aku mengenalnya sebagai teman sekelasku. Tidak ada kegiatan ekskul yang kami lakukan bersama. Dia mengikuti kegiatan Pramuka, sedangkan aku memilih voli. Di kelaspun kami duduk tidak berdekatan. Kesamaan kami hanyalah tempat les bahasa Inggris yang sama, dengan jadwal yang berbeda. Kelasku dimulai setelah kelasnya selesai. Terkadang kami ngobrol sebentar sebelum dia pulang. Tidak ada yang istimewa saat kami masih berumur 12-13 tahun itu.
Saat pertengahan semester 2, aku harus pindah mengikuti orangtuaku yang ditugaskan di kota lain. Masih kuingat jelas, dia meminta alamatku yang baru. Untuk berkirim surat, katanya waktu itu. Dan benar, sejak kepindahanku kami selalu berkirim surat. Sekedar bercerita tentang sekolahku yang baru, atau dia menceritakan teman-teman kami yang di sekolah lama. Terkadang dia menyebutkan nama seorang teman cowok yang lain, yang menurut dia menyukai aku. Tanpa sadar aku tersenyum, aahhh salah satu masa indahku.
“Woyyy,” Arya melambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku pun tersentak.
“Ngelamunin apaan sih kayanya asik banget,” kata Arya.
Aku pun hanya tertawa sambil meminum jusku. “Yoga mana?” tanyaku saat tidak melihat Yoga duduk di sebelahnya.
“Halaahhh, ngelamunnya khusyu banget sampe gak sadar kalo Yoga tadi pamit mau pulang duluan”, jawab Arya sambil tertawa ngakak.
“Hahhhh,” aku bengong, lalu ikut tertawa.
“Yuk diabisin, kita balik,” ajak Arya.
Yaaahhhhh, balik sekarang???
Kembali kami melaju di jalan, Arya mengambil rute kembali ke kosku. Jam tanganku menunjukkan pukul empat sore. Dengan kecepatan 40 km/jam, Arya memarkirkan motornya di kosku sekitar 30 menit kemudian. Kembali Arya numpang sholat asar di kamarku. Setelah aku pun selesai sholat, kami duduk-duduk di depan kamarku. Saat sedang ngobrol-ngobrol, beberapa teman kosku menuju parkiran motor bersiap pergi.
Iseng aku bertanya ke salah satu dari mereka, “Mau kemana mbak?”
“Ke sekatenan Na,” jawab Mbak Rere.
“Sekarang lagi ada sekatenan ya?” tanyaku lagi.
“Iya, udah semingguan ini. Yuk kesana,” ajaknya.
“Ya mbak, makasih. Ntar aja,” tolakku halus.
Tak lama kemudian mereka sudah berangkat meninggalkan kos.
Tiba-tiba Arya menanyakan sesuatu padaku.
Aku yang masih memperhatikan motor-motor teman kosku pergi menoleh pada Arya dengan sedikit kaget, “Hah?”
“Ishhh, dasar kuping,” Arya mengacak rambutku pelan.
Aku hanya meringis.
“Udah pernah ke sekaten?” Arya mengulang pertanyaannya.
“Oooooooo,” aku baru mengerti. “Kalo yang di Jogja belum.”
“Kesana yuk.”
“Hahhhh??” kali ini aku benar-benar kaget.
“Kamu nihhh parah banget kupingnya,” Arya menunjukkan wajah gemas.
Aku tertawa, “Bukan gitu. Kaget aja tiba-tiba kamu ngajak ke sekaten.”
“Emang kenapa? Takut cowokmu marah ya?”
Akupun teringat kalo hari ini Sabtu.
“Enggak laahhh… Kan tadi kita abis pergi, kaget aja kok ngajak pergi lagi.”
“Jadi gak mau?”
“Ya mauuuuu.”
Arya tertawa. Lalu dia bangkit dari kursinya. “Ya udah aku balik ke kos dulu. Abis maghrib aku jemput ya.”

“Oke,” jawabku.

(bersambung ke part 3)

SATU HARI YANG INDAH (part 1)

Huft, akhirnya selesai juga laporan akhir praktikum ini aku ketik. Aku susun lembaran-lembaran kertas setebal 60 halaman yang diketik dengan mesin ketik milik kakakku dulu. Yap, di jaman yang sudah mulai menggunakan komputer, printer dan disket ini, laporan tidak boleh diketik menggunakan komputer.  Indah sekali kan?
Kulihat jam dinding, jarum panjang menunjuk ke angka 11. Setelah mandi, aku akan menjilidkan laporan ini, lalu menuju tempat penyewaan komik. Hari ini akan kuhabiskan dengan membaca komik Detektif Conan beberapa jilid, dan jika beruntung, aku bisa meminjam buku Harry Potter terbaru. Hmmmm, hari yang indah.
Motor kuparkir di depan Exclusive, toko yang melayani fotokopi, penjilidan dan lain-lain. Baru sedetik kuhempaskan badanku ke kursi tinggi di depan meja, tiba-tiba, “Hei Na, apa kabar?” Suara seorang cowok menyapaku ramah.
Kutengok ke kiri ke arah sumber suara. Dengan sedikit terkejut, “Haaii Ya, baikkk… Kamu apa kabar? Kok bisa sampe sini?”
“Baik juga. Kamu mau fotokopi?”
“Enggak, aku mau jilid laporan. Eh bentar ya, aku jilid ini dulu,” kataku sambil memanggil salah satu pegawai toko. Tanpa menunggu jawabannya aku langsung menyebutkan jilidan yang aku mau ke pegawai itu. Kemudian si pegawai membawa laporanku, dia menjanjikan jilidan akan selesai dalam waktu 30 menit.
Aku kembali menengok ke cowok tadi. “Eh kamu belum jawab, kamu ngapain kesini? Mau jilid juga?”
Cowok itu menjawab, “Enggak. Aku tadi pas lewat sini lihat kamu belok ke toko ini. Trus aku ikut belok aja kesini.”
Wajahku terasa sedikit menghangat. Dia ingin bertemu denganku.
“Emang kamu mau kemana?” tanyaku.
“Tadinya sih mau main ke tempat temenku, katanya dia sekarang buka warung kecil-kecilan.”
“Oooo,” aku sambil manggut-manggut.
Dia Arya, mantan kekasihku yang pertama kali. Temanku di bangku SMP yang masih selalu berkomunikasi denganku walau sudah berbeda kota. Dan di masa SMA kami sama-sama mengakui mempunyai perasaan yang sama, lalu memutuskan untuk berpacaran. Walau tidak lama, tetapi delapan purnama itu cukup berkesan.
“Na, abis ini kamu mau kemana?” Tanya Arya membuyarkan lamunanku.
“Gak ada acara sih, paling sewa komik aja hehehe,” jawabku sambil tertawa.
“Kamu nih masih aja doyan komik ya,” katanya balik tertawa.
“Masih inget Ya?” Sepertinya wajahku agak memerah.
“Iyalah. Kan dulu kamu sering cerita di surat-suratmu.”
“Emang surat-suratku masih ada?” tanyaku penasaran.
“Masih ada di rumah. Emang surat-suratku udah ga ada?”
“Masih juga, di rumah.”
Hatiku terasa makin hangat mengetahui hal itu. Teringat aku selalu menunggu-nunggu surat-surat dipajang di jendela ruang TU sekolah. Ledekan sahabat-sahabatku saat aku menerima surat dari Arya. Surat itu selalu kubuka di kelas dengan tak sabar. Ingin mengetahui kabar Arya, apa yang dia alami di hari-hari kemarin. Dan sesampainya di rumah, aku tak sabar menuliskan balasan surat itu. Ingin kuceritakan semuanya, tentang sekolahku, kelinciku, ataupun tentang sahabat-sahabatku. Masih teringat di salah satu suratku aku menulis bahwa salah satu sahabatku mengundangku dan dia untuk datang di acara ulangtahunnya yang ke-17. Arya pun bertanya transportasi umum apa yang dia gunakan untuk sampai di kotaku? Tetapi aku tidak berani mengambil resiko, aku takut orangtuaku tahu bahwa aku punya pacar. Dengan terpaksa aku mengatakan padanya bahwa dia tidak perlu datang. Aku juga kasihan, dia harus melewati tiga kota untuk mencapai kotaku, selain itu dia juga harus menyisihkan uang sakunya hanya untuk ke kotaku.
“Mbak, ini jilidannya udah selesai,” mbak pegawai mengusik lamunanku.
“Eh,” wajahku sedikit terkejut. “Oiya mbak.” Setelah mengecek hasilnya dan menyelesaikan pembayaran, “Ya jilidanku udah selesai. Kamu mau kemana?”
“Kita jalan aja yuk. Mau?” ajaknya.
Mau banget laaahhhh, hatiku berkata dengan girang. Tapi dengan bodohnya aku balik bertanya, “Kemana?”
Arya mengangkat bahu. “Kemana ajalah, puter-puter Jogja.”
“Katanya mau ke warungnya temenmu?” Bodoh banget, rutukku. Kenapa sih gak langsung jawab iya aja, gak usah nanya-nanya. Kalo Arya berubah pikiran gimana????
“Ya nanti mampir kesana aja bentar.” Arya lalu berdiri, “Udah yuk, mampir kosmu dulu taruh motormu.”
Tanpa bertanya lagi aku langsung mengikuti dia keluar dan 5 menit kemudian kami telah sampai di kosku.

(bersambung ke part 2)

Cerpen

Duluuuuu.... jaman SMA, aku suka menulis cerpen. Isinya ga jauh-jauh soal romansa remaja. Hampir semuanya berkisah tentang cewe yg secara fisik ga dipandang sempurna oleh cowo2 usia remaja, tetapi akhirnya ada cowok yang mencintai dia apa adanya dia. Dan kadang kalimat endingnya terlalu klise, atau terlalu romantis, atau terlalu "wagu" kalo orang jawa bilang. Aku sadar kalo tulisan itu menyuarakan suara hatiku yang ga sempurna di mata cowok2 seusiaku, dan aku ingin dicintai seperti apa adanya aku. Lucu memang, tapi itulah cerpen yang aku buat.

Jaman aku SMA masih jarang komputer. Jadi cerpen2 itu aku tulis tangan di lembaran hvs bergaris, mohon dimaklumi jika banyak noda tip-ex disitu. Pembaca setiaku seringnya kakakku yang perempuan, dan terkadang teman2 dekatku di kelas. Mungkin kakakku dalam hati menertawakan cerpenku yang sangat khas abg, kalo jaman sekarang mungkin disebut abg alay. Tapi dia menghargai cerita2 yang aku tulis. Aku sangat berterimakasih untuk itu. Love u sist xoxo.

Berhubung cerpen2 itu dalam bentuk tulisan tangan dan tersimpan di rumah orangtuaku di Solo (mudah2an masih ada), sekarang aku ingin mencoba menulis cerpen lagi dengan setting yang lebih dewasa sedikit. Selamat membaca!!

Jumat, 09 Oktober 2015

Studen Exchange part 4 - Jalan-jalan (2)

Late post banget ya... Cerita lagi tentang perjalanan di Jepang. But better late than never kan ya hehehe...

10 hari sebelum pulang ke Indonesia, kami menyempatkan diri jalan-jalan ke sebuah benteng yang bangunannya bergaya eropa. Aku lupa apa nama benteng atau nama bukitnya. Perjalanannya lebih jauh daripada ke Matsuyama Castle. Tentu saja dengan naik sepeda, beberapa kali sepeda aku tuntun karena jalanan menanjak dengan cukup curam. Lagi-lagi perjalanan yang melelahkan terbayar dengan pemandangan yang begitu indah.... Sesampainya di atas bukit tentu tak lupa mengabadikan berbagai foto disana di tengah udara musim dingin Matsuyama.

Setelah puas kami menuruni bukit untuk kembali ke kota lalu menghangatkan diri di sebuah restoran sushi. Surga deh buat pecinta sushi. Dengan hanya 108 yen per porsi atau sekitar 10ribuan waktu itu, kita bisa puasss memilih-milih sushi favorit. Paling-paling hanya mengeluarkan 1000 yen atau sekitas 100ribu udah kekenyangan sushi. Coba disini.... brapa ratus ribu tuh baru bisa kenyang!!

Playground di atas tempat parkir, sebelum menuju castle, dengan pemandangan kota Matsuyama

Berjalan kaki menuju castle

Pose sebelum menuju castle yang nampak di balik pohon itu

Pemandangan kota Matsuyama, nampak di kejauhan Matsuyama Castle
Bersama teman-teman
Tuh dia castle nya mulai keliatan
Berbagai macam pose bersama teman2 peserta student exchange dan mahasiswa dari Indonesia

Benteng di atas bukit dengan pemandangan kota Matsuyama di bawahnya
Grilled salmon sushi hanya 108 yen

Kamis, 01 Oktober 2015

.... dan tespek itu bergaris dua

Student Exchange yang aku jalani selama sekitar 50 hari membawa berkah yang tak ternilai harganya bagiku dan suami. Kehidupan yang aku jalani disana memang sedikit berbeda, terutama untuk hal transportasi dan makanan. Sepeda menjadi alat transportasi utama untuk kemana-mana. Ke kampus, belanja, wisata, beli oleh2, karaoke, ya pake sepeda. Makanan yang aman dikonsumsi oleh muslim ya ikan. Kalo pengen ayam ya harus ke supermarket yang jual ayam dengan label halal. Ditambah di kantin kampus selalu ada salad, jadi hampir tiap hari aku makan ikan dan salad.

Sempat aku menghitung2 siklusku, kemungkinan saat aku pulang ke Jakarta itu pas masa suburku. Lalu aku berandai-andai siapa tau setelah itu aku hamil. Aku cukup sering sih berkhayal, berandai-andai tentang banyak hal. Anggap aja itu adalah salah satu bentuk sugesti positif ya....

Masih sangat aku ingat, 19 Desember 2014 adalah HPHT ku. HPHT itu adalah Hari Pertama Haid Terakhir. HPHT itu salah satu patokan untuk menghitung usia kehamilan dan HPL (Hari Perkiraan Lahir). Tanggal 25 Desember 2014 aku menginjakkan kaki lagi di Jakarta. Hari ke-35 setelah HPHT (H-35) aku belum haid. Aku selalu menganggap kalo aku telat haid setelah H-35, karena siklus haid wanita yg normal itu 21-35 hari. Dan karena aku PCO, jadi aku ambil siklus yg terpanjang sebagai patokan. Nah setelah H-35 belum haid, aku baru tespek di H-39. Bukannya apa-apa, tapi selalu lupa untuk tespek di pagi hari persis setelah bangun tidur. Sebenernya sih tespek dengan urine di jam berapa aja bisa, tapi pengen yg lebih afdol aja, urine pertama di pagi hari hehe...

H-39, hari Senin, tanggalnya 26 Januari 2015, pagi2 sekitar jam 5an lah... Bangun tidur, ambil tespek, baru ke kamar mandi. Tampung urine, celupin tespek, lalu merhatiin urine nya menjalari tespek. Melongo waktu liat garis yang bawah nongol duluan, baru garis yang atas. Keluar dari kamar mandi, ambil tespek satu lagi. Cek tanggal kadaluarsanya, masih oke. Celupin lagi. Lagi2 garis yang bawah nongol duluan. Melongo lagi. Berasa gak percaya. Langsung ke kamar, nunjukin ke suami. Ikutan melongo. Alhamdulillah, bersyukur yang sebesar2nya hanya pada Allah SWT. Akhirnya aku melihat tespek bergaris dua di usia pernikahan kami 6 tahun 5 bulan 2 hari.


 Sore itu juga aku langsung ke dokter untuk memastikan. Masuk ruangan dr Irham yang udah sekitar 3 bulan ga aku sambangi. Ramah seperti biasanya menyambut para pasiennya. Ngobrol2 bentar basa-basi nanya kapan aku pulang dari Jepang.

IRS : Kapan pulang dari Jepang?
A : Udah dari tgl 25 Desember kemaren dok. Maaf ya dok ga bawain oleh2. Mahal2 disana.
IRS : Iya emang di Jepang tuh mahal2 semua.
A : Oleh2nya ini aja ya dok
(aku ngeluarin 2 tespek)
IRS : Alhamdulillah.... selamat yaa..
A : iya dok. HPHT 19 desember dok.
IRS : Ya udah yuk USG. Tapi biasanya belum kliatan sih. Apa 2 minggu lagi aja USG nya? Nanti saya kasih penguat dan vitamin.
A : iya sih, kadang baru kliatan penebalan dinding rahim dulu ya dok.
IRS : iya... tp gpp deh kita USG aja sekarang.

Dan voila..... penampakan inilah yang tampak saat USG. Baru berasa benar2 yakin bahwa Allah mengijinkan aku hamil. Kantung janin sudah ada, bahkan titik putih bakal calon janin juga sudah ada. Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah allahu akbar.