Rabu, 20 September 2017

Satu Hari yang Indah part 3


Sore ini aku mandi sambil bernyanyi dalam hati karena katanya kan gak boleh nyanyi di kamar mandi. Tanpa mengeluarkan semua baju dari lemari dan melemparkan ke kasur, seperti di film-film, aku sudah siap dengan blus dan celana jins, sedikit membubuhkan bedak dan lip gloss tipis. Jangan bersolek terlalu tebal, nanti Arya malah il-feel, batinku sambil cekikikan. Dalam hati tentunya.
Sekitar jam tujuh, pintu kamar kosku diketuk.
“Na,” panggil Arya.
“Hai,” sahutku setelah membuka pintu.
Arya tersenyum, dia nampak begitu manis. Oh Tuhan, apakah malam ini akan berakhir seperti yg aku harapkan?
“Yuk berangkat,” katanya.
Arya mengendarai motornya pelan, mengarah ke selokan Mataram lalu belok ke kanan menyusuri Selokan.
“Na, kamu udah makan?” Tanya dia.
“Belum sih Ya. Kamu udah?” aku balik nanya.
“Belum juga. Masih kenyang siomay tadi,” jawabnya. “Makannya abis dari Sekaten aja ya?”
“Oke”.
Dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam saja, akhirnya Arya memarkirkan motor di seputaran Kantor Pos Jogja saat jam tanganku menunjukkan jam 7.20. lalu kami berjalan menuju pintu masuk Sekaten.
“Raina!!” aku mendengar seseorang memanggilku sambil melambaikan tangannya.
“Eh mbak Rere,” ternyata teman kosku. “Udah mau pulang?”
“Iya Na, kamu baru dateng nih?” tanyanya sambil melirik Arya dengan pandangan kepo.
“Ho oh mbak,” jawabku singkat.
“Ya udah aku duluan ya,” pamitnya.
Sambil melambaikan tangan tanda berpisah, aku kembali melanjutkan jalanku dengan Arya. Sesekali Arya menggamit tanganku saat melewati keramaian. Tapi saat suasana dia rasa aman, dia melepaskan tanganku. Aku tidak mau melambungkan angan terlalu tinggi, aku tidak tau apakah ada kesamaan keinginan di antara kami.
Kami pun berjalan dari stand ke stand. Sambil melihat-lihat apakah ada barang yang unik dan menarik.
“Na, itu apaan ya kok rame standnya?” Tanya Arya. Lalu tangannya menarik tanganku, “ kesana yuk”.
Untung saja tidak ada orang yang aku kenal disana, sementara wajahku bersemu merah. Ya, aku bahagia.
Ternyata stand itu adalah stand bimbingan belajar yang cukup ternama di Jogja. Mereka memberikan permainan otak dengan iming-iming hadiah. Entah apa hadiahnya.
“Ayo mas, dicoba,” salah seorang penjaga stand menawari Arya. Arya hanya tersenyum dan berusaha menolak dengan halus.
“Coba yuk, Ya,” ajakku.
Permainan itu berupa sebuah persegi panjang dengan lubang-lubang di atasnya, semacam papan dakon. Lalu lubang-lubang itu harus terisi oleh bola-bola yang terangkai dengan beberapa pola. Ada yang bolanya dua berpola lurus, atau bolanya tiga berbentuk segitiga, dan lain-lain. Aku menyukai permainan semacam ini.
Pada kesempatan pertama aku boleh memindahkan bola tersebut jika ternyata tidak pas. Dan aku berhasil menyelesaikan permainan itu. Lalu si penjaga stand menawarkan hadiah untuk permainan kedua, dengan syarat aku harus meletakkan bola-bola itu satu kali saja, tidak boleh dipindah-pindah. Akupun merasa tertantang. Dengan kekuatan bulan…. Eh bukan…dengan kekuatan otakku tentu saja, aku berhasil menyelesaikannya. Dan akupun menimang-nimang sebuah boneka lucu yang ternyata adalah kapur barus.
“Kamu tuh ya, masih aja pinter kayak dulu. Makan apa sih?” kata Arya sambil tertawa.
Akupun ikut tertawa. “Padahal seringnya makan burjo, hahahahaha…”
Jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka 9. Arya pun mengajakku meninggalkan area Sekaten ini.
“Makan dimana, Na?”
“Mana ya Ya?”
“Yee, ditanyain malah balik nanya.”
“Hehehe.”
Arya mengendarai motornya menuju arah kosku.
“Burjo deket kosmu yang enak yang mana Na?”
“Deket kampus aja, ada burjo Yogi” Akupun menunjukkan ancer-ancer menuju burjo yang aku maksud. Sambil komat-kamit berdoa semoga tidak ada teman kuliahku yang sedang nongkrong di burjo itu. Aku malas menjadi bahan berita di kampus. Walaupun belum tentu akan menjadi berita karena teman-temanku bukan tipe penggosip hahahaha.
“Mang intel rebus sama es kopimik ya,” langsung kupesan menu favoritku di warung burjo ini.
“Kopimik?” Tanya Arya.
“Iya kopimik, kan mamangnya susah ngomong ep,” sahutku sambil ngakak. Si mamang burjo juga ikut tertawa.
“Dasarrr kamu Na,” Arya lagi-lagi mengacak-acak rambutku. “Samain aja mang.”
Untuuuung tidak ada makhluk dari kampusku yang menyambangi burjo malam ini. Sehingga tidak ada saksi memerahnya wajahku untuk yang kesekian kalinya.
“Na,” kata Arya setelah kami sama-sama menghabiskan intel rebus hingga tetes terakhir.
“Hmmm?” aku menjawab sambil menengok ke arah Arya.
“Makasih ya seharian udah nemenin aku jalan.”
“Aku seneng kok bisa jalan sama kamu.”
Arya tersenyum.
“Lagiaaannn…” ragu-ragu kuteruskan ucapanku.
“Lagian apa Na?”
“Mmmmm….”
“Apaaannn?”
“Lagian kan dulu jaman kita pacaran, kita ga pernah jalan.” Aku menjawab masih dengan ragu-ragu, takut Arya marah.
“Hehehe, iya juga sih.”
“Ya,”
“Opo?”
“Kamu jangan marah yaa.”
“Iyaa..”
“Mmmm…boleh gak sih kalo aku berharap kita bisa nyoba lagi?
Arya kini menatapku dengan pandangan serius. Mungkin dia tidak menyangka aku akan berani berkata seperti itu.
“Na..”
“Ga usah dijawab gak papa Ya. Maaf ya..”
“Kenapa minta maaf?”
“Takutnya kamunya marah, ga suka aku ngomong kaya gini.”
“Enggaklah…kenapa juga aku harus marah.”
Aku memainkan sedotan di gelasku. Gak berani memandang wajahnya.
“Na,” kata Arya pelan. “Sebenarnya aku pernah memikirkan hal yang sama.”
Sejenak aku bahagia, perlahan aku menoleh ke arahnya.
“Tapi…”
Bahagiaku sedikit menyurut.
“Jujur aja aku minder.”
“Aku minder karena orangtuaku bukanlah orang kaya,” lanjut Arya.
Aku yang tadi sempat membuka mulut untuk bertanya kini mendengarkan cowok itu sambil menenangkan hati.
“Aku bekerja paruh waktu untuk meringankan beban bapak. Apalagi aku kuliah di swasta, uang kuliah lebih mahal. Sedangkan aku tau orangtuamu kaya. Mereka bisa membiayai kuliahmu, kosmu yang bagus, dan mungkin fasilitas yang lain. Dan aku minder sama kamu, karena kamu lebih cerdas dariku. Apa yang bisa diandalkan dari aku Na? Bahkan aku hanya mampu traktir kamu siomay dan burjo”
“Yang aku tau kamu adalah pekerja keras Ya, bukan anak manja yang datang ke Jogja dengan mengandalkan kiriman dari orangtua. Buatku kamu punya nilai lebih, Ya.”
Dan malam itu berakhir saat Arya mengantarku ke kos dan mengucapkan selamat malam. Satu hari yang indah yang akan selalu aku kenang walau boneka kapur barus dari Sekaten tadi habis dimakan masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar